Senin, 02 Februari 2009

Tangerang Kota Pasar

Berita Tangerang, 20 Juni 2004

Kita mungkin sering membayangkan sebuah kota Tangerang yang jalanannya bersih dan rapi; para sopir angkot yang tidak saling serobot dan tidak memberhentikan mobilnya sembarangan; para pedagang yang tidak menjadikan jalan sebagai pasar liar; sungai dan got-gotnya yang airnya bening tidak mampet karena sampah dan tidak meluap saat hujan yang mengakibatkan kemacetan parah; barisan toko-toko yang rapi dan menarik, serta trotoar-trotoar yang menyenangkan bagi pejalan kaki.

Rasanya bayangan itu adalah sesuatu yang mustahil untuk masa yang dekat. Yang terjadi adalah justru sebaliknya. Tumpukan sampah yang dibuang sembarang terjadi di mana-mana; para sopir saling serobot dan memberhentikan mobilnya sembarangan; para pedagang, baik yang liar maupun yang legal, tidak menyisihkan sedikitpun ruang bagi pembeli ataupun pengguna jalan lain untuk bias sekedar bernafas; sungai dan got-gotnya mampet karena sampah dan mengakibatkan banjir dan kemacetan; trotoar-trotoar tidak dibuat agar para pejalan kaki bisa jalan dengan enak.

Kalau diungkapkan dengan sebuah kata, mungkin hanya ada satu istilah, yaitu “pasar”. Kita bisa melihat, yang terjadi di mana-mana adalah kegiatan “pemasaran”, maksudnya menjadikan hampir semua fasilitas publik menjadi pasar. Kalau kita mengendarai mobil dari sejak pintu tol Tangerang sebagai gerbang masuk Kota Tangerang sampai pusat kota Tangerang, kita bisa melihat seberapa banyak tempat yang menjadi titik-titik kemacetan. Dan setiap titik kemacetan identik dengan pasar, yang ditandai dengan berkerumunnya pedagang asongan, PKL, halte bus liar dan tempat ‘ngetem’ angkot, ojek dan becak, serta kerumunan pejalan kaki yang tidak ada bedanya dengan di pasar. Justru tempat-tempat yang sebenarnya paling tidak boleh dijadikan tempat parkir seperti tikungan jalan dan perempatan malah sering menjadi tempat yang paling “ideal” untuk dijadikan “pasar”. Bukan hanya jalan atau pasar saja yang menjadi “pasar”, tetapi mal-mal yang dibangun dengan konsep modern dan teknologi modern pun, ternyata fungsinya tidak lebih dari “pasar” juga.

Pasar itu identik dengan keramaian, ketidak-beraturan dan ketidak-adaan peraturan. Lawannya adalah pemerintahan yang identik dengan kerapian, keteraturan dan pengaturan. Oleh karena itu, di dalam bahasa Inggris pemerintah disebut sebagai ‘ruler’, yang artinya pengatur. Maka dari itu, Yergin dan Stanislaw (1998) mengarang buku yang berjudul Commanding Heights yang merupakan uraian tentang “perseteruan” antara pasar (Market) dengan pemerintah (government). Kenapa disebut perseteruan? Karena pasar sifatnya ‘ugal-ugalan’ dan tidak akan pernah mau dan bisa diatur. Sedangkan pemerintah sifatnya governing, artinya mengatur atau memaksa dengan peraturan atau rule.

Kalau melihat definisi seperti itu, maka kita bertanya kenapa kota kita sudah menjadi kota pasar? Mungkin karena orang-orangnya memang sudah tidak bisa diatur. Atau bisa jadi karena pemerintahnya ‘enggan’ mengatur atau tidak bisa memaksa warganya untuk mentaati peraturan.

Kita ambil contoh sopir angkot yang sering ‘ngetem’ tepat di tikungan jalan yang merupakan tempat yang paling tidak layak untuk parkir karena menghalangi jalan bagi kendaraan lain yang mau belok. Tetapi seberapa kalipun mereka dimarahi oleh petugas polisi, atau pengemudi-pengemudi lain yang terhalangi jalannya, tetap saja mereka akan mengulang lagi ‘ngetem’ di situ di kali berikutnya mereka lewat. Alasannya, kata mereka kalau mereka berhenti “jauh” dari situ, para calon penumpang tidak akan naik karena malas jalan “terlalu” jauh. Jadi persimpangan jalan adalah tempat yang paling “strategis” untuk ‘ngetem’ bagi angkot, dan tempat yang paling praktis bagi penumpang untuk menunggu. Klop.

Jadi fenomena “pemasaran” bukanlah semata-mata berasal dari kesalahan para sopir angkot yang berhenti sembarangan. Itu adalah merupakan “tuntutan pasar”, dan berjalan sesuai dengan “mekanisme pasar”.

Akhir-akhir ini istilah “tuntutan pasar” dan “mekanisme pasar” seolah-olah telah menjadi senjata “pamungkas” para ekonom kita untuk membela teori ekonomi pasar mereka. Hal-hal yang sudah menjadi tuntutan pasar dan berjalan sesuai dengan mekanisme pasar seolah-olah sesuatu yang mutlak, tidak boleh diintervensi atau diregulasi. Karena kalau intervensi atau regulasi akan menyebabkan larinya ‘customer’ dan ‘investor’ yang merupakan pembeli produk atau saham yang mendatangkan untung. Oleh karena itu istilah deregulasi, yang berarti pembebasan dari batasan atau aturan, selalu dipandang positif oleh pelaku pasar.

* * *

Masyarakat kita memang identik dengan masyarakat pasar, baik secara historis maupun sosio-kultural. Secara historis, masyarakat kita berkembang dari masyarakat dagang, dan kota selalu identik dengan kegiatan perdagangan. Secara sosio-kultural, yang memegang peranan utama dalam sistem perekonomian rakyat sepanjang sejarah adalah perdagangan, bukan pertanian ataupun manufaktur. Dagang di sini diartikan sebagai proses jual-beli, artinya membeli di satu tempat dan menjualnya di tempat lain dengan harga yang menghasilkan keuntungan, tanpa mengikuti proses produksi. Jadi tidak masalah kalau yang dijual produk-produk orang, yang penting untung. “Yang penting untung” adalah premis dasar orang berdagang. Lebih parahnya, karakter pedagang-pedagang kita masih “kanibal”. Artinya, pembeli adalah “korban” yang siap “dimakan” setiap ada kesempatan. Jadi tidak peduli seberapa baik mutu barang dagangan yang dijual ke pembeli, atau pun seberapa layak pelayanan yang mereka berikan kepada pembeli, atau seberapa besar kemudharatan yang mereka hasilkan terhadap lingkungannya akibat dari proses perdagangannya. Tidak aneh koridor-koridor di dalam mal-mal besar yang katanya bertaraf internasional itu juga disewakan oleh pengembangnya menjadi tempat dagang yang “strategis”, alias pasar. Yang penting untung.

Sikap para pedagang dan pengembang yang hanya mengejar keuntungan itu semakin diperparah oleh karakter yang sulit dihilangkan dari masyarakat kita, yaitu malas. Malas jalan, malas antri, malas menunggu. Sering kita melihat sebab kemacetan sebenarnya hanyalah hal yang sangat sepele, yaitu parkir atau berhenti sembarangan karena tidak mau jalan yang “terlalu” jauh. Di masyarakat kita telah umum, kalau kita mengendarai mobil, sejengkal pun sebisa mungkin jangan sampai jalan. Makanya sering kita melihat ‘umpel-umpelan’ parkir di depan pintu masuk sekolah-sekolah atau kantor-kantor. Oleh karena itu, para pedagang atau penawar jasa beranggapan, kalau mereka mereka menjajakan barang dagangannya terlalu jauh dari pusat “keramaian” yang sudah berjubel, para pelanggan sudah pasti tidak akan datang kepada mereka. Jadi tidak heran pula, di mal-mal besar warung nasi bercampur dengan pedagang kosmetik dan pedagang baju-baju, seperti di pasar. Jangan salahkan pula sopir angkot yang berhenti “pas” di jalan masuk sebuah persimpangan, karena kalau terlalu jauh, mereka sering menjadi sasaran ‘umpatan’ penumpang. Demikianlah tuntutan pasar dan mekanisme pasar.

Para pembeli yang malas dan pedagang yang asal mencari untung, sepertinya itulah yang menyebabkan menjamurnya pasar di mana-mana, dari halte bis, emperan dan koridor mal sampai gang-gang rumah penduduk.

Sekarang pertanyaannya, apakah tidak mungkin masyarakat kita diatur? Dan tidak mampukah pemerintah kita mengatur rakyatnya?

Kita mungkin tidak habis pikir setiap kali memandangi pagar pemisah jalan yang tingginya lebih dari 2 meter di sepanjang Jl. Jend. Sudirman dari pintul Tol Tangerang hingga Cikokol. Haruskan pagar setinggi itu dibuat untuk “memaksa” warganya supaya tidak menyeberang jalan sembarangan? Sudah sedemikian parahkah masyarakat kita sehingga tidak ‘mempan’ diatur dengan “bahasa” halus dan harus dengan “bahasa” fisik? Kenyataannya meskipun pagar sedemikian tinggi telah dibuat, tetap saja para pejalan kaki dan pengguna kendaraan umum “membobol” pagar agar mereka bisa menyeberang untuk pindah kendaraan. Sulit mengatakan memang, merekakah yang salah ataukah pagar yang dibuat kurang tinggi atau kurang kuat. Melihat kontradiksi yang tidak masuk akal seperti ini para petugas polisi sering terpaksa hanya memandangi saja mereka-mereka yang “membobol” pagar tadi.

Contoh lain, masih di terusan jalan Sudirman (By pass) juga, tepat di persimpangan dengan jalan TMP Taruna diletakkan blok-blok beton setinggi pinggang untuk memisahkan jalan dan menghalangi agar kendaraan dari arah TMP Taruna tidak menyerobot masuk By pass yang mengakibatkan kemacetan di situ. Sungguh ironis, sebuah masyarakat modern yang terdidik ternyata harus dipaksa dengan balok-balok beton agar mereka, meskipun dengan terpaksa, bisa menghargai pengguna jalan lain.


* * *


Kemalasan adalah kebiasaan yang buruk yang tidak layak ditolelir. Akan tetapi kemalasan mereka rasa-rasanya bukan bawaan dari “sononya”. Kalau seandainya sarana publik seperti halte bus yang layak, jembatan penyeberangan yang dibuat dengan mempertimbangkan penggunanya, trotoar-trotoar yang “ramah” terhadap para pejalan kaki, dll, rasa-rasanya mereka akan mengerti untuk sekedar mentaati aturan. Bagaimanapun tidak “santun” kalau melarang pejalan kaki menyeberang dengan membuat pagar tinggi sedangkan jembatan penyeberangan tidak disediakan terlebih dahulu. Bersyukur, sebuah jembatan penyeberangan di jalan Sudirman itu sekarang sedang dalam pengerjaan, meskipun prosesnya sangat tersendat.

Bagaimanapun rakyat kecil yang merupakan pemeran utama pasar dan yang mengakibatkan “kumuhnya” pasar adalah bagian kekuatan yang terlemah dari setiap system masyarakat di sepanjang sejarah, tidak terkecuali masyarakat kita. Namanya arus terlemah mereka tidak akan mampu menentukan arus atau warna masyarakatnya. Jadi kalau kota kita identik dengan kota pasar, asal-muasalnya sudah pasti bukan dari mereka, karena mereka lemah.

Kalau bicara masalah lemah dan kuat, kekuatan masyarakat yang dominan itu bisa dibedakan menjadi dua: politik dan ekonomi. Para politisi adalah pemegang aturan dan yang menjamin terlaksananya aturan itu. Pelaku ekonomi adalah pemegang modal yang menjadi jantung utama gerak roda ekonomi masyarakat. Keduanya akan bertemu secara “klop” pada saat mereka mempunyai kepentingan yang sama, yaitu materi dan kekuasaan. Para pelaku ekonomi akan menyeponsori politisi agar bias melanggengkan kekuasaannya. Sebagai imbal baliknya, politisi akan menjamin mereka dengan aturan yang memudahkan mereka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pihak yang dirugikan dan dikorbankan sudah barang tentu adalah rakyat yang lemah dari segi ekonomi maupun akses terhadap penguasa.

Dengan demikian tanpa perlu bertele-tele, kesimpulannya jadi sangat mudah: masyarakat pasar kita adalah buah dari perpaduan dua kekuatan ini. Di satu sisi kekuatan ekonomi dipegang oleh para pedagang yang berprinsip asal mendapat untung, di sisi lain kekuatan pengatur dikuasai oleh politisi-politisi yang korup yang ‘kong-kalingkong’ dengan pedagang. Rasanya kehidupan masyarakat kita tidaklah sulit untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang layak selama para pebisnis kita tidak ‘kemaruk’ untuk “mengeruk” keuntungan secara berlebihan dan para politisi kita mau mengabdikan diri sepenuhnya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya.

Foto 1 Salah satu sisi Kota Tangerang, Pasar Anyar. Jalanan umum yang berubah fungsi menjadi tempat parkir hampir tidak menyisakan tempat bagi pejalan kaki maupun mobil lain untuk lewat.

Foto 2 Saudara tua Kota Tangerang? Pedagang kaki lima di wilayah Wang-Chai, Hong Kong ini hampir tidak menyisakan trotoar bagi pejalan kaki. Meskipun begitu para pejalan kaki leluasa berjalan karena jalan ditutup dari pengguna kendaraan beroda empat. Dengan sedikit perubahan Pasar Anyar dan Pasar Lama bisa juga dibuat seperti ini menjadi tempat yang menarik dikunjungi wisatawan.

Foto 3 Wajah Kota Tangerang tahun 3001? Mudah-mudahan bisa lebih cepat. Di kota Banff, Canada, ini para pengemudi memarkir kendaraannya dengan sangat rapi, trotoar-trotoar pun kelihatan bersih dan indah, membuat para pejalan kaki bisa menikmati udara sore dengan ‘window shopping’ atau makan di restoran terbuka.

(Warsito).

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum Pak.
So, What are your solutions for solve them?
Perkenalkan, saya aang, mahasiswa T.Sipil ITB 2005 asal Ciputat.
Maaf pak sedikit menyimpang, saya ada beberapa pertanyaan terkait pencalonan bapak untuk DPR RI dari kab. tangerang.
1. Di bidang apa yang bapak perjuangkan di DPR? ekonomi kah, pendidikan or apa? dan caranya seperti apa?
2. Pandangan bapak tentang kebijakan ekonomi nasional selama ini?
3. Menurut bapak, siapa capres yang paling kompeten untuk menangani ekonomi?
Mohon dijawab dengan jujur dan lepaskan embel2 partai bapak.
Terima kasih.

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum Pak,

Saya juga warga tangerang niy. Saya udah baca profil bapak. tapi sangat disayangkan saya ga liat program kerja bapak. Bagaimana saya mau pilih bapak kalau saya tidak tau apa yang akan bapak lakukan nanti.

Mengenai keadaan kota Tangerang, saya juga sangat menyayangkan hal tersebut. Sebenarnya ga susah koq membenahi itu semua, Tidak perlu menunggu sampai tahun 3000. Kalau bapak mau diskusi saya bersedia di lain kesempatan. Karena itu bagian dari bidang kuliah saya dulu.

Jika bapak terpilih, mudah2an bapak selalu ingat pada rakyat dan selalu memperjuangkan nasib rakyat, mudah2an ga ikut2an korupsi dan ga buang2 uang negara dengan jalan2 keluar negeri, apalagi pake bawa keluarga....

Anonim mengatakan...

semua orang pengen jadi caleg, karena gajinya gede. cari pamoritas, gombar-gambir prestasi. saya juga banyak kenal dengan orang-orang indonesia yang kayak gini. saya hanya menyayangkan nasib rakyat indonesia yang selalu ditipu oleh orang-orang kayak gini.