Wacana insentif bagi peneliti menjadi ramai setelah Presiden SBY mengemukakannya dalam peringatan Hakteknas yang lalu untuk memacu produktifitas para ilmuwan Indonesia. Dana penelitian yang rendah sering dijadikan alasan akan rendahnya produktifitas ilmuwan kita. Benarkah?
Faktanya perbandingan dana penelitian (R&D) antara Indonesia dan Thailand berada pada kisaran yang sama sepanjang masa antara tahun 1968-2000, yaitu antara 0.1-0.4 % terhadap PDB. Indonesia bahkan pernah mencapai angka tertinggi tahun 1982 yaitu 0.4% melebihi Thailand saat itu. Akan tetapi dengan taraf pengeluaran yang sama, perbedaan pada output kemampuan teknologi yang dicerminkan dengan angka indek total faktor produktifitas antara Indonesia dan Thailand sangat mencolok: 0.31 dibanding Thailand yang mencapai 2.02 (World Bank, 2004). Di samping itu prosentase jumlah personil yang terlibat di dalam litbang Thailand tidak mencapai separohnya Indonesia.
Jelas, dari data di atas rendahnya produktifitas peneliti Indonesia bukan disebabkan karena terlalu kecilnya dana penelitian. Bishry dan Hidayat (1998) mengambil contoh tentang penggunaan anggaran proyek penelitian di BPPT dari proyek berskala kecil (kurang dari 100 jt rupiah) hingga besar (lebih dari 5M). Dari semua contoh proyek yang ada rata-rata 95% dana digunakan untuk fasilitas mesin dan gedung dan alokasi dana yang disebut kontrak servis. Untuk proyek yang bernilai besar prosentasi itu bahkan mencapai lebih dari 99%.
Bandingkan dengan alokasi dana penelitian di Jepang sebesar 7.6 T yen yang meliputi 46% untuk insentif gaji peneliti, 17% fasilitas mesin dan gedung, 16% material, dan 20% biaya tak terduga (Foreign Press Center of Japan, 1986). Prosentase insentif gaji dalam struktur anggaran penelitian di universitas dan lembaga penelitian di Amerika juga mencapai sekitar 50%. Jelas, masalah di Indonesia bukan pada besarannya, tetapi pada penggunaannya yang sama-sekali tidak efisien, dan adanya dugaan maraknya praktek perburuan rente (rent seeking).
Melihat data tersebut, wacana insentif berupa fasilitas penunjang agaknya tidak tepat sasaran. Alokasi fasilitas yang berwujud fisik yang terlalu dominan selama ini justru diduga merupakan celah yang memberi kesempatan bagi penyelewengan berupa KKN dalam pengadaan barang.
Fasilitas penelitian di lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah di Indonesia juga tidak bisa dibilang miskin. Kalau kita mengunjungi laboratorium-laboratorium milik pemerintah, maka kita bisa menemukan peralatan-peralatan yang paling mutakhir di dunia yang jarang bisa ditemui di pusat-pusat laboratorium lembaga penelitian top di dunia sekalipun. Kawan saya di sebuah lembaga penelitian pemerintah cerita kaget ketika baru pulang belajar dari luar negeri menemukan sebuah peralatan super computer yang paling canggih di dunia saat itu sudah bertahun-tahun masih terbungkus plastik tak ada yang menggunakan. Kawan saya yang lain baru-baru ini juga membeli peralatan NMR terkini dari Jepang seharga belasan milyar, tetapi sambil ketawa bilang belum pernah satu pun paten atau paper di jurnal internasional dia terbitkan dari alat canggih itu. Ada lagi kawan saya yang sempat panas beradu argumentasi dengan saya tentang pembelian software impor pengolah data gempa seharga hampir 10 milyar, tetapi dia bilang selama 10 tahun baru bisa memahaminya 10%. Kawan saya di sebuah lembaga penelitian milik pemerintah yang lain bahkan mengatakan, kalau mau makan “pepes” IC (integrated circuit) pun juga bisa saking melimpahnya dana untuk membeli komponen.
Jelas ada yang salah dari ini semua.
Douglas Osheroff, penerima Nobel Fisika tahun 1996 mengatakan pada ceramahnya di LIPI tahun 2005, “Dana memang perlu, tetapi bukanlah faktor yang utama untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah penelitian yang besar.” Yang lebih diutamakan adalah challenging mind yang “never give up, whatever happen badly,” menurutnya.
Jiwa yang selalu tertantang itulah yang diperlukan bagi para peneliti untuk berprestasi. Menciptakan lingkungan yang demikian adalah tugas pemerintah. Selama suasana yang selalu menantang para ilmuwan untuk terus berpikir memecahkan masalah tidak ada, berapa pun gaji dan bagaimana pun canggihnya fasilitas tidak akan menghasilkan apa-apa.
Tantangan bagi peneliti bisa berupa dua hal, pertama ajang kompetisi sesama peneliti di tingkat dunia dan tantangan permasalahan dari industri. Kesempatan untuk ikut dalam ajang kompetisi level dunia sangat membantu untuk mendorong para ilmuwan berkarya. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh para siswa SMA yang mengikuti lomba olimpiade sains internasional. Hawa kompetisi itu yang membuat mereka terus berusaha untuk maju dan mampu berprestasi.
Akan tetapi di dunia riset kita, hawa kompetisi itu hampir tidak ada. Kompetisi dunia riset sangat berbeda atau bahkan bertolak belakang sekali dengan kompetisi seperti yang terjadi di olimpiade sains yang berbasis pengerjakan soal ujian. Dunia riset lebih berhadapan dengan problem yang masih gelap, menemukan problem itu sendiri merupakan separoh dari kerja riset. Riset lebih memerlukan jiwa serendipity, kemampuan mencari sesuatu yang belum pernah ada, daripada kemampuan berpikir klasikal yang mengandalkan ingatan yang kuat terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah baku seperti umumnya pada soal-soal ujian. Riset sangat lain dengan mengerjakan soal ujian. Penelitian menunjukkan keberhasilan pada riset lebih didominasi oleh mereka-mereka yang menduduki ranking menenegah daripada kelompok teratas. Dengan demikian sistem pendidikan kita yang menumpukan pada pengerjaan soal-soal ujian ikut andil dalam mematikan kreatifitas para ilmuwan kita.
Tantangan riil dari dunia industri juga mendorong para ilmuwan dan peneliti untuk terus berpikir dan berkarya. Hal itulah yang membedakan antara Thailand dan Indonesia. Di Thailand dana R&D yang terbatas difokuskan untuk mendorong proses adopsi, adaptasi dan difusi teknologi di sektor industri daripada untuk melakukan kreasi teknologi baru dengan judul yang sering bombastis seperti di Indonesia. Dari data Papitek-LIPI (1995), jumlah SDM yang berpendidikan S2 dan S3 yang sebanyak 7.500 personil, hanya 5% yang berada di sektor industri, sebagian besar terkonsentrasi di lembaga pemerintah yang tantangan untuk berprestasi sangat rendah.
Ada dua hal paling tidak yang bisa direkomendasikan untuk mendongkrak output para ilmuwan dan peneliti Indonesia. Pertama, relokasi sebagian besar PNS peneliti dari lembaga pemerintah ke swasta, kedua, syaratkan minimal 80% secara bertahap dari dana pengadaan barang dan jasa yang dibiayai APBN harus berasal dari produk dalam negeri. Dengan demikian swasta akan terdorong untuk terus meningkatkan produksi yang disupport oleh ketersediaan SDM yang unggul, sehingga langkah peningkatan produktifitas para ilmuwan terjadi secara mekanisme pasar. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Michael E. Porter dalam The Competitive Advantage of Nations (1990), ”National Budget must drive domestic demand, not foreign demand.”
Minggu, 24 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar