Selasa, 03 Februari 2009

Minimnya Dana Penyebab Mundurnya Penelitian Kita?


Dana penelitian yang rendah sering dijadikan alasan akan rendahnya produktifitas ilmuwan kita. Benarkah?

Faktanya perbandingan dana penelitian (R&D) antara Indonesia dan Thailand berada pada kisaran yang sama sepanjang masa antara tahun 1968-2000, yaitu antara 0.1-0.4 % terhadap PDB. Indonesia bahkan pernah mencapai angka tertinggi tahun 1982 yaitu 0.4% melebihi Thailand saat itu. Akan tetapi dengan taraf pengeluaran yang sama, perbedaan pada output kemampuan teknologi yang dicerminkan dengan angka indek total faktor produktifitas antara Indonesia dan Thailand sangat mencolok: 0.31 dibanding Thailand yang mencapai 2.02 (World Bank, 2004). Di samping itu prosentase jumlah personil yang terlibat di dalam litbang Thailand tidak mencapai separohnya Indonesia.

Jelas, dari data di atas rendahnya produktifitas peneliti Indonesia bukan disebabkan karena terlalu kecilnya dana penelitian. Bishry dan Hidayat (1998) mengambil contoh tentang penggunaan anggaran proyek penelitian di BPPT dari proyek berskala kecil (kurang dari 100 jt rupiah) hingga besar (lebih dari 5M). Dari semua contoh proyek yang ada rata-rata 95% dana digunakan untuk fasilitas mesin dan gedung dan alokasi dana yang disebut kontrak servis. Untuk proyek yang bernilai besar prosentasi itu bahkan mencapai lebih dari 99%.

Bandingkan dengan alokasi dana penelitian di Jepang sebesar 7.6 T yen yang meliputi 46% untuk insentif gaji peneliti, 17% fasilitas mesin dan gedung, 16% material, dan 20% biaya tak terduga (Foreign Press Center of Japan, 1986). Prosentase insentif gaji dalam struktur anggaran penelitian di universitas dan lembaga penelitian di Amerika juga mencapai sekitar 50%. Jelas, masalah di Indonesia bukan pada besarannya, tetapi pada penggunaannya yang sama-sekali tidak efisien, dan adanya dugaan maraknya praktek perburuan rente (rent seeking).

Melihat data tersebut, wacana insentif berupa fasilitas penunjang agaknya tidak tepat sasaran. Alokasi fasilitas yang berwujud fisik yang terlalu dominan selama ini justru diduga merupakan celah yang memberi kesempatan bagi penyelewengan berupa KKN dalam pengadaan barang.

Fasilitas penelitian di lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah di Indonesia juga tidak bisa dibilang miskin. Kalau kita mengunjungi laboratorium-laboratorium milik pemerintah, maka kita bisa menemukan peralatan-peralatan yang paling mutakhir di dunia yang jarang bisa ditemui di pusat-pusat laboratorium lembaga penelitian top di dunia sekalipun. Kawan saya di sebuah lembaga penelitian pemerintah cerita kaget ketika baru pulang belajar dari luar negeri menemukan sebuah peralatan super computer yang paling canggih di dunia saat itu sudah bertahun-tahun masih terbungkus plastik tak ada yang menggunakan. Kawan saya yang lain baru-baru ini juga membeli peralatan NMR terkini dari Jepang seharga belasan milyar, tetapi sambil ketawa bilang belum pernah satu pun paten atau paper di jurnal internasional dia terbitkan dari alat canggih itu. Ada lagi kawan saya yang sempat panas beradu argumentasi dengan saya tentang pembelian software impor pengolah data gempa seharga hampir 10 milyar, tetapi dia bilang selama 10 tahun baru bisa memahaminya 10%. Kawan saya di sebuah lembaga penelitian milik pemerintah yang lain bahkan mengatakan, kalau mau makan “pepes” IC (integrated circuit) pun juga bisa saking melimpahnya dana untuk membeli komponen.

Jelas ada yang salah dari ini semua.

Douglas Osheroff, penerima Nobel Fisika tahun 1996 mengatakan pada ceramahnya di LIPI tahun 2005, “Dana memang perlu, tetapi bukanlah faktor yang utama untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah penelitian yang besar.” Yang lebih diutamakan adalah challenging mind yang “never give up, whatever happen badly,” menurutnya.

Jiwa yang selalu tertantang itulah yang diperlukan bagi para peneliti untuk berprestasi. Menciptakan lingkungan yang demikian adalah tugas pemerintah. Selama suasana yang selalu menantang para ilmuwan untuk terus berpikir memecahkan masalah tidak ada, berapa pun gaji dan bagaimana pun canggihnya fasilitas tidak akan menghasilkan apa-apa.

Tantangan bagi peneliti bisa berupa dua hal, pertama ajang kompetisi sesama peneliti di tingkat dunia dan tantangan permasalahan dari industri. Kesempatan untuk ikut dalam ajang kompetisi level dunia sangat membantu untuk mendorong para ilmuwan berkarya. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh para siswa SMA yang mengikuti lomba olimpiade sains internasional. Hawa kompetisi itu yang membuat mereka terus berusaha untuk maju dan mampu berprestasi.

Akan tetapi di dunia riset kita, hawa kompetisi itu hampir tidak ada. Kompetisi dunia riset sangat berbeda atau bahkan bertolak belakang sekali dengan kompetisi seperti yang terjadi di olimpiade sains yang berbasis pengerjakan soal ujian. Dunia riset lebih berhadapan dengan problem yang masih gelap, menemukan problem itu sendiri merupakan separoh dari kerja riset. Riset lebih memerlukan jiwa serendipity, kemampuan mencari sesuatu yang belum pernah ada, daripada kemampuan berpikir klasikal yang mengandalkan ingatan yang kuat terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah baku seperti umumnya pada soal-soal ujian. Riset sangat lain dengan mengerjakan soal ujian. Penelitian menunjukkan keberhasilan pada riset lebih didominasi oleh mereka-mereka yang menduduki ranking menenegah daripada kelompok teratas. Dengan demikian sistem pendidikan kita yang menumpukan pada pengerjaan soal-soal ujian ikut andil dalam mematikan kreatifitas para ilmuwan kita.

Tantangan riil dari dunia industri juga mendorong para ilmuwan dan peneliti untuk terus berpikir dan berkarya. Hal itulah yang membedakan antara Thailand dan Indonesia. Di Thailand dana R&D yang terbatas difokuskan untuk mendorong proses adopsi, adaptasi dan difusi teknologi di sektor industri daripada untuk melakukan kreasi teknologi baru dengan judul yang sering bombastis seperti di Indonesia. Dari data Papitek-LIPI (1995), jumlah SDM yang berpendidikan S2 dan S3 yang sebanyak 7.500 personil, hanya 5% yang berada di sektor industri, sebagian besar terkonsentrasi di lembaga pemerintah yang tantangan untuk berprestasi sangat rendah.

Ada dua hal paling tidak yang bisa direkomendasikan untuk mendongkrak output para ilmuwan dan peneliti Indonesia. Pertama, relokasi sebagian besar PNS peneliti dari lembaga pemerintah ke swasta, kedua, syaratkan minimal 80% secara bertahap dari dana pengadaan barang dan jasa yang dibiayai APBN harus berasal dari produk dalam negeri. Dengan demikian swasta akan terdorong untuk terus meningkatkan produksi yang disupport oleh ketersediaan SDM yang unggul, sehingga langkah peningkatan produktifitas para ilmuwan terjadi secara mekanisme pasar. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Michael E. Porter dalam The Competitive Advantage of Nations (1990),National Budget must drive domestic demand, not foreign demand.”

Senin, 02 Februari 2009

Tangerang Kota Pasar

Berita Tangerang, 20 Juni 2004

Kita mungkin sering membayangkan sebuah kota Tangerang yang jalanannya bersih dan rapi; para sopir angkot yang tidak saling serobot dan tidak memberhentikan mobilnya sembarangan; para pedagang yang tidak menjadikan jalan sebagai pasar liar; sungai dan got-gotnya yang airnya bening tidak mampet karena sampah dan tidak meluap saat hujan yang mengakibatkan kemacetan parah; barisan toko-toko yang rapi dan menarik, serta trotoar-trotoar yang menyenangkan bagi pejalan kaki.

Rasanya bayangan itu adalah sesuatu yang mustahil untuk masa yang dekat. Yang terjadi adalah justru sebaliknya. Tumpukan sampah yang dibuang sembarang terjadi di mana-mana; para sopir saling serobot dan memberhentikan mobilnya sembarangan; para pedagang, baik yang liar maupun yang legal, tidak menyisihkan sedikitpun ruang bagi pembeli ataupun pengguna jalan lain untuk bias sekedar bernafas; sungai dan got-gotnya mampet karena sampah dan mengakibatkan banjir dan kemacetan; trotoar-trotoar tidak dibuat agar para pejalan kaki bisa jalan dengan enak.

Kalau diungkapkan dengan sebuah kata, mungkin hanya ada satu istilah, yaitu “pasar”. Kita bisa melihat, yang terjadi di mana-mana adalah kegiatan “pemasaran”, maksudnya menjadikan hampir semua fasilitas publik menjadi pasar. Kalau kita mengendarai mobil dari sejak pintu tol Tangerang sebagai gerbang masuk Kota Tangerang sampai pusat kota Tangerang, kita bisa melihat seberapa banyak tempat yang menjadi titik-titik kemacetan. Dan setiap titik kemacetan identik dengan pasar, yang ditandai dengan berkerumunnya pedagang asongan, PKL, halte bus liar dan tempat ‘ngetem’ angkot, ojek dan becak, serta kerumunan pejalan kaki yang tidak ada bedanya dengan di pasar. Justru tempat-tempat yang sebenarnya paling tidak boleh dijadikan tempat parkir seperti tikungan jalan dan perempatan malah sering menjadi tempat yang paling “ideal” untuk dijadikan “pasar”. Bukan hanya jalan atau pasar saja yang menjadi “pasar”, tetapi mal-mal yang dibangun dengan konsep modern dan teknologi modern pun, ternyata fungsinya tidak lebih dari “pasar” juga.

Pasar itu identik dengan keramaian, ketidak-beraturan dan ketidak-adaan peraturan. Lawannya adalah pemerintahan yang identik dengan kerapian, keteraturan dan pengaturan. Oleh karena itu, di dalam bahasa Inggris pemerintah disebut sebagai ‘ruler’, yang artinya pengatur. Maka dari itu, Yergin dan Stanislaw (1998) mengarang buku yang berjudul Commanding Heights yang merupakan uraian tentang “perseteruan” antara pasar (Market) dengan pemerintah (government). Kenapa disebut perseteruan? Karena pasar sifatnya ‘ugal-ugalan’ dan tidak akan pernah mau dan bisa diatur. Sedangkan pemerintah sifatnya governing, artinya mengatur atau memaksa dengan peraturan atau rule.

Kalau melihat definisi seperti itu, maka kita bertanya kenapa kota kita sudah menjadi kota pasar? Mungkin karena orang-orangnya memang sudah tidak bisa diatur. Atau bisa jadi karena pemerintahnya ‘enggan’ mengatur atau tidak bisa memaksa warganya untuk mentaati peraturan.

Kita ambil contoh sopir angkot yang sering ‘ngetem’ tepat di tikungan jalan yang merupakan tempat yang paling tidak layak untuk parkir karena menghalangi jalan bagi kendaraan lain yang mau belok. Tetapi seberapa kalipun mereka dimarahi oleh petugas polisi, atau pengemudi-pengemudi lain yang terhalangi jalannya, tetap saja mereka akan mengulang lagi ‘ngetem’ di situ di kali berikutnya mereka lewat. Alasannya, kata mereka kalau mereka berhenti “jauh” dari situ, para calon penumpang tidak akan naik karena malas jalan “terlalu” jauh. Jadi persimpangan jalan adalah tempat yang paling “strategis” untuk ‘ngetem’ bagi angkot, dan tempat yang paling praktis bagi penumpang untuk menunggu. Klop.

Jadi fenomena “pemasaran” bukanlah semata-mata berasal dari kesalahan para sopir angkot yang berhenti sembarangan. Itu adalah merupakan “tuntutan pasar”, dan berjalan sesuai dengan “mekanisme pasar”.

Akhir-akhir ini istilah “tuntutan pasar” dan “mekanisme pasar” seolah-olah telah menjadi senjata “pamungkas” para ekonom kita untuk membela teori ekonomi pasar mereka. Hal-hal yang sudah menjadi tuntutan pasar dan berjalan sesuai dengan mekanisme pasar seolah-olah sesuatu yang mutlak, tidak boleh diintervensi atau diregulasi. Karena kalau intervensi atau regulasi akan menyebabkan larinya ‘customer’ dan ‘investor’ yang merupakan pembeli produk atau saham yang mendatangkan untung. Oleh karena itu istilah deregulasi, yang berarti pembebasan dari batasan atau aturan, selalu dipandang positif oleh pelaku pasar.

* * *

Masyarakat kita memang identik dengan masyarakat pasar, baik secara historis maupun sosio-kultural. Secara historis, masyarakat kita berkembang dari masyarakat dagang, dan kota selalu identik dengan kegiatan perdagangan. Secara sosio-kultural, yang memegang peranan utama dalam sistem perekonomian rakyat sepanjang sejarah adalah perdagangan, bukan pertanian ataupun manufaktur. Dagang di sini diartikan sebagai proses jual-beli, artinya membeli di satu tempat dan menjualnya di tempat lain dengan harga yang menghasilkan keuntungan, tanpa mengikuti proses produksi. Jadi tidak masalah kalau yang dijual produk-produk orang, yang penting untung. “Yang penting untung” adalah premis dasar orang berdagang. Lebih parahnya, karakter pedagang-pedagang kita masih “kanibal”. Artinya, pembeli adalah “korban” yang siap “dimakan” setiap ada kesempatan. Jadi tidak peduli seberapa baik mutu barang dagangan yang dijual ke pembeli, atau pun seberapa layak pelayanan yang mereka berikan kepada pembeli, atau seberapa besar kemudharatan yang mereka hasilkan terhadap lingkungannya akibat dari proses perdagangannya. Tidak aneh koridor-koridor di dalam mal-mal besar yang katanya bertaraf internasional itu juga disewakan oleh pengembangnya menjadi tempat dagang yang “strategis”, alias pasar. Yang penting untung.

Sikap para pedagang dan pengembang yang hanya mengejar keuntungan itu semakin diperparah oleh karakter yang sulit dihilangkan dari masyarakat kita, yaitu malas. Malas jalan, malas antri, malas menunggu. Sering kita melihat sebab kemacetan sebenarnya hanyalah hal yang sangat sepele, yaitu parkir atau berhenti sembarangan karena tidak mau jalan yang “terlalu” jauh. Di masyarakat kita telah umum, kalau kita mengendarai mobil, sejengkal pun sebisa mungkin jangan sampai jalan. Makanya sering kita melihat ‘umpel-umpelan’ parkir di depan pintu masuk sekolah-sekolah atau kantor-kantor. Oleh karena itu, para pedagang atau penawar jasa beranggapan, kalau mereka mereka menjajakan barang dagangannya terlalu jauh dari pusat “keramaian” yang sudah berjubel, para pelanggan sudah pasti tidak akan datang kepada mereka. Jadi tidak heran pula, di mal-mal besar warung nasi bercampur dengan pedagang kosmetik dan pedagang baju-baju, seperti di pasar. Jangan salahkan pula sopir angkot yang berhenti “pas” di jalan masuk sebuah persimpangan, karena kalau terlalu jauh, mereka sering menjadi sasaran ‘umpatan’ penumpang. Demikianlah tuntutan pasar dan mekanisme pasar.

Para pembeli yang malas dan pedagang yang asal mencari untung, sepertinya itulah yang menyebabkan menjamurnya pasar di mana-mana, dari halte bis, emperan dan koridor mal sampai gang-gang rumah penduduk.

Sekarang pertanyaannya, apakah tidak mungkin masyarakat kita diatur? Dan tidak mampukah pemerintah kita mengatur rakyatnya?

Kita mungkin tidak habis pikir setiap kali memandangi pagar pemisah jalan yang tingginya lebih dari 2 meter di sepanjang Jl. Jend. Sudirman dari pintul Tol Tangerang hingga Cikokol. Haruskan pagar setinggi itu dibuat untuk “memaksa” warganya supaya tidak menyeberang jalan sembarangan? Sudah sedemikian parahkah masyarakat kita sehingga tidak ‘mempan’ diatur dengan “bahasa” halus dan harus dengan “bahasa” fisik? Kenyataannya meskipun pagar sedemikian tinggi telah dibuat, tetap saja para pejalan kaki dan pengguna kendaraan umum “membobol” pagar agar mereka bisa menyeberang untuk pindah kendaraan. Sulit mengatakan memang, merekakah yang salah ataukah pagar yang dibuat kurang tinggi atau kurang kuat. Melihat kontradiksi yang tidak masuk akal seperti ini para petugas polisi sering terpaksa hanya memandangi saja mereka-mereka yang “membobol” pagar tadi.

Contoh lain, masih di terusan jalan Sudirman (By pass) juga, tepat di persimpangan dengan jalan TMP Taruna diletakkan blok-blok beton setinggi pinggang untuk memisahkan jalan dan menghalangi agar kendaraan dari arah TMP Taruna tidak menyerobot masuk By pass yang mengakibatkan kemacetan di situ. Sungguh ironis, sebuah masyarakat modern yang terdidik ternyata harus dipaksa dengan balok-balok beton agar mereka, meskipun dengan terpaksa, bisa menghargai pengguna jalan lain.


* * *


Kemalasan adalah kebiasaan yang buruk yang tidak layak ditolelir. Akan tetapi kemalasan mereka rasa-rasanya bukan bawaan dari “sononya”. Kalau seandainya sarana publik seperti halte bus yang layak, jembatan penyeberangan yang dibuat dengan mempertimbangkan penggunanya, trotoar-trotoar yang “ramah” terhadap para pejalan kaki, dll, rasa-rasanya mereka akan mengerti untuk sekedar mentaati aturan. Bagaimanapun tidak “santun” kalau melarang pejalan kaki menyeberang dengan membuat pagar tinggi sedangkan jembatan penyeberangan tidak disediakan terlebih dahulu. Bersyukur, sebuah jembatan penyeberangan di jalan Sudirman itu sekarang sedang dalam pengerjaan, meskipun prosesnya sangat tersendat.

Bagaimanapun rakyat kecil yang merupakan pemeran utama pasar dan yang mengakibatkan “kumuhnya” pasar adalah bagian kekuatan yang terlemah dari setiap system masyarakat di sepanjang sejarah, tidak terkecuali masyarakat kita. Namanya arus terlemah mereka tidak akan mampu menentukan arus atau warna masyarakatnya. Jadi kalau kota kita identik dengan kota pasar, asal-muasalnya sudah pasti bukan dari mereka, karena mereka lemah.

Kalau bicara masalah lemah dan kuat, kekuatan masyarakat yang dominan itu bisa dibedakan menjadi dua: politik dan ekonomi. Para politisi adalah pemegang aturan dan yang menjamin terlaksananya aturan itu. Pelaku ekonomi adalah pemegang modal yang menjadi jantung utama gerak roda ekonomi masyarakat. Keduanya akan bertemu secara “klop” pada saat mereka mempunyai kepentingan yang sama, yaitu materi dan kekuasaan. Para pelaku ekonomi akan menyeponsori politisi agar bias melanggengkan kekuasaannya. Sebagai imbal baliknya, politisi akan menjamin mereka dengan aturan yang memudahkan mereka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pihak yang dirugikan dan dikorbankan sudah barang tentu adalah rakyat yang lemah dari segi ekonomi maupun akses terhadap penguasa.

Dengan demikian tanpa perlu bertele-tele, kesimpulannya jadi sangat mudah: masyarakat pasar kita adalah buah dari perpaduan dua kekuatan ini. Di satu sisi kekuatan ekonomi dipegang oleh para pedagang yang berprinsip asal mendapat untung, di sisi lain kekuatan pengatur dikuasai oleh politisi-politisi yang korup yang ‘kong-kalingkong’ dengan pedagang. Rasanya kehidupan masyarakat kita tidaklah sulit untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang layak selama para pebisnis kita tidak ‘kemaruk’ untuk “mengeruk” keuntungan secara berlebihan dan para politisi kita mau mengabdikan diri sepenuhnya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya.

Foto 1 Salah satu sisi Kota Tangerang, Pasar Anyar. Jalanan umum yang berubah fungsi menjadi tempat parkir hampir tidak menyisakan tempat bagi pejalan kaki maupun mobil lain untuk lewat.

Foto 2 Saudara tua Kota Tangerang? Pedagang kaki lima di wilayah Wang-Chai, Hong Kong ini hampir tidak menyisakan trotoar bagi pejalan kaki. Meskipun begitu para pejalan kaki leluasa berjalan karena jalan ditutup dari pengguna kendaraan beroda empat. Dengan sedikit perubahan Pasar Anyar dan Pasar Lama bisa juga dibuat seperti ini menjadi tempat yang menarik dikunjungi wisatawan.

Foto 3 Wajah Kota Tangerang tahun 3001? Mudah-mudahan bisa lebih cepat. Di kota Banff, Canada, ini para pengemudi memarkir kendaraannya dengan sangat rapi, trotoar-trotoar pun kelihatan bersih dan indah, membuat para pejalan kaki bisa menikmati udara sore dengan ‘window shopping’ atau makan di restoran terbuka.

(Warsito).

Pemberdayaan Bangsa Sebuah Keharusan

Bagaimana jika 90 persen lebih sumber energi sebuah bangsa dikuasai oleh pihak asing? Berapa lama negara itu akan mampu bertahan secara ekonomi? Atau seberapa bebas keputusan politik bisa diambil oleh para pemimpinnya? Dan yang lebih memprihatinkan lagi seberapa mahal harga yang harus dibeli oleh rakyatnya? BBM? TDL? Hingga tarif jalan tol.

Apa yang tidak ada di Indonesia? Minyak paling tidak cukup untuk 25 tahun lagi. Gas bisa membiayai pembangunan hingga 65 tahun. Batubara bisa menjadi sumber energi selama 150 tahun. Belum lagi panas buminya, yang tidak akan pernah habis untuk menjadi sumber penerangan seluruh nusantara. Pegunungan Grasberg saja mengandung emas tidak kurang dari dua juta kg, terbesar di dunia, ditambah tembaga dan batubaranya yang terbesar ketiga di dunia.

Akan tetapi itu hanyalah sebatas "kebanggaan nasional" yang dicekokkan ke murid-murid SD dan SMP di buku-buku kewarganegaraan. Tak sedikit pun memberi manfaat bagi hidup dan masa depan murid-murid yang masih "jujur" dan bersih dari kebusukan itu.

Bagaimana mungkin mereka mendapatkan manfaat kemaslahatan yang sebesar-besarnya dari sumber kekayaan alam yang dijamin oleh konstitusi? 85 persen rakyat mereka hanya hidup rata-rata dengan 30 sampai 50 sen per orang per hari. Silakan bayangkan sendiri hidup apa yang bisa dibuat dengan 30 sampai 50 sen. Dengan taraf hidup yang mendekati dasar bumi itu mereka harus membayar BBM dan listrik dengan harga Singapore atau New York.

Bagaimana mungkin hal ini terjadi di bumi mereka? Padahal minyak dibor dari kolong tidur mereka. Batubara dikeruk dari ladang mereka. Dan emas ditambang dari kebun mereka.

Anda kaget dengan kelaparan yang mematikan melanda suku Yahokimo di pedalaman Irian? Ooh, itu terlalu jauh bagaikan di bulan. Anda akan dengan mudah mendapatkan busung lapar dan polio merajalela di ketiak Jakarta sendiri. Jangan heran pula dengan orang yang hanya makan tiwul atau nasi aking yang tadinya hanya untuk makan ternak. Bahkan para sopir taksi yang termasuk kalangan menengah sekali pun hanya bisa bertahan dengan ubi. Entahlah, bertahan hidup bagi mereka merupakan sesuatu yang patut disyukuri atau kepasrahan yang tidak menyisakan jalan keluar.

Berapa pun biayanya, berapa pun lama waktu yang diperlukan, bangsa ini harus diberdayakan. Karena itu satu-satunya jalan yang tersisa.

Anda bertanya bahwa ini sudah menjadi kewajiban asasi pemerintah? Ooh, pemerintah Anda masih belum puas dengan tingkat penguasaan asing atas sumber energi nasional yang 90 persen lebih itu.

Cadangan minyak terbukti di tempat yang paling mudah yang akan menambah cadangan dan produksi nasional hingga 20 persen mereka hadiahkan pula, dengan alasan rakyat mereka tidak mampu mengelolanya. Belum lagi cadangan yang belum terbukti, yang diperkirakan melampaui seluruh cadangan minyak nasional yang ada. Anda benar, saya sedang berbicara tentang Blok Cepu.

Bukan itu saja. Pemerintah mereka telah menganggap bangsa ini sudah tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sendiri. Karenanya pasar BBM dan listrik nasional pun harus dibuka ke asing pula. Untuk menfasilitasinya harga BBM dan TDL perlu dinaikkan hingga harga `keokonomian' agar pengusaha asing bisa memperoleh untung. Tak peduli rakyat mampu membelinya atau tidak.

Tidak ada peraturan perundang-undangan yang melindungi secara hukum? Oh, itu bukan masalah. Undang-undang bisa dibuat sesuai dengan kehendak investor. Kalau tidak ada ahli dan duit untuk membuatnya mereka siap membiayai. Atau bahkan mereka tidak perlu berpikir atau menulis undang-undang itu sendiri. Mereka cukup menghabiskan waktunya untuk belanja di mal-mal terkenal di seluruh dunia sambil melakukan studi banding dan agen-agen asing akan menyiapkan draft undang-undang itu. Beberapa tahun kemudian investor-investor tersebut akan datang kepada mereka membawa bill yang sudah berlipat ganda sebagai sunk cost. Tidak mengapa, alam kita kaya raya, berapa pun cost-recovery-nya akan bisa ditanggung.

Bertentangan dengan konstitusi? Konstitusi adalah buatan manusia. Kapan diperlukan bisa diamandemen sesuai dengan kebutuhan.

Anda pasti bisa menebak, saya sedang membicarakan amandemen UUD 1945 pasal 33 tahun 2002 dan UU liberalisasi sektor migas No 22 yang ditetapkan setahun sebelumnya. Dan jangan heran kalau orang yang mengajukan UU itu adalah orang yang Anda pilih untuk memimpin negeri ini. Dan mereka sedang gigih berdiri di pihak yang melindungi kepentingan investor dari ancaman rakyat yang sedang kelaparan.

Saya setuju dengan Anda bahwa orang-orang seperti Anda harus diberi kesempatan untuk merubah nasib bangsa ini. Karena Anda paling tidak adalah orang-orang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan yang tidak pernah dicapai oleh ratusan juta rakyat bangsa ini yang sebagian besar hanya lulus SD. Saya tahu Anda mempunyai keyakinan yang mendalam untuk mampu berdiri tegak di hadapan bangsa mana pun juga.

Hanya saja sayang, saat ini negeri Anda tidak cukup memberi ruang gerak bagi Anda. Anda harus mencari peluang sendiri dan menghadapi segala tantangan apa pun, termasuk dari dalam diri Anda sendiri. Tetapi Anda harus menyadari tanpa peran Anda rakyat negeri ini yang pada tahun 2025 akan menjadi 275 juta hanya akan menjadi penonton panen raya di ladang mereka sendiri. Time to wake up, Bros. Fulfill your duty. (Warsito)

BeritaIptek(www.beritaiptek.com, 20 Maret 2006).

Bisakah Orang Indonesia Meraih Nobel?

Judul kolom ini mirip judul buku yang sedikit provokatif yang ditulis Kishore Mahbubani, Can Asians think ? Pertanyaan ini memang terasa merendahkan bagi bangsa-bangsa Asia dan dunia ketiga termasuk Indonesia. Mahbubani sendiri adalah orang Asia. Tetapi paparannya akan membuat orang Asia dan semua orang berpikir lebih baik. Pertanyaan yang sama pantas ditujukan kepada kita bangsa Indonesia yang tengah terpuruk dalam segala bidang. "Bisakah orang Indonesia berpikir ?" Rasanya terlalu "ketus" untuk judul tulisan ini.

Dalam peringatan 100 tahun teori relatifitas Einstein, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar acara Temu Ilmuwan Indonesia Abad 21 tanggal 18 dan 19 November dengan mengundang peraih Nobel Douglas Dean Osheroff dan menghadirkan sekitar 16 ilmuwan Indonesia peraih berbagai macam award. Dikatakan ini merupakan pertemuan peneliti Indonesia paling bergengsi.

Tujuan perhelatan ini adalah untuk memotivasi generasi muda agar bekerja keras untuk mengembangkan sain dan teknologi. Suatu upaya untuk membangun cita-cita bahwa suatu ketika akan lahir Nobel laureate dari Indonesia. Siapa tahu akan tercatat dalam sejarah ?Entah kenapa tema-tema hadiah Nobel seperti first step to Nobel prize begitu marak menjadi tema-tema lomba ilmiah dan pertemuan para peneliti Indonesia akhir-akhir ini. Upaya untuk menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa yang "mampu" di tengah keterpurukan segala bidang ? Tentu saja upaya demikian akan bernilai sangat positif untuk mendorong generasi baru untuk lebih menggeluti dunia ilmu pengetahuan. Hanya saja sepertinya kegiatan seperti ini lebih menonjolkan "selebritas aktor" daripada substansi ilmiah yang ingin dibangun. Bahkan tidak jarang menjadi ajang "bisnis" baru bagi para peneliti kita.

Bagi media pun tingkat "selebritas" lebih menjual daripada substansi ilmiah iptek sebagai solusi permasalahan bangsa. Pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa siswa-siswa kita demikian mendominasi perlombaan ilmiah internasional seperti olimpiade ilmiah untuk pelajar SMU, akan tetapi kenyataannya konferensi-konferensi dan jurnal ilmiah internasional begitu sepi dari partisipasi peneliti kita ?

Kompetisi ilmu seperti dalam lomba ilmiah tentu saja lain dengan budaya ilmiah yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai macam problem masyarakat di berbagai bidang. Yang pertama lebih menonjolkan kemampuan menangkap kisi-kisi dan menjawab soal ujian, sedangkan yang kedua lebih menonjolkan kemampuan serendipitas dan keuletan dalam menekuni proses berpikir ilmiah untuk menyelesaikan persoalan dalam dunia nyata.

Kalau yang pertama tingkat keberhasilannya lebih tergantung pada intensitas latihan dan training, yang kedua sangat tergantung pada karakter pelakunya, latihan tidak banyak membantu. Kedua hal ini sangat berbeda secara mendasar. Oleh karena itu kita sering melihat kenyataan begitu banyak orang yang bagus dalam ujian, tetapi begitu "memble" saat menjadi pemimpin dan terjun di masyarakat. Penerima Nobel di bidang kedokteran tahun 1987 dari Jepang, Susumu Tonegawa menanggapi arahan pemerintah Jepang pada saat itu untuk "memproduksi" sebanyak-banyaknya penerima Nobel baru dari Jepang. Tonegawa menanggapi dengan mengatakan bahwa penemuan setarap hadiah Nobel memerlukan karakter berpikir yang berbeda yang lahir bukan dari latihan sehingga memungkinkan "produksi massal".

Karakter itu tidak lain adalah mental serendipitas. Kata serendipitas berasal dari kata bahasa Inggris serendipity yang berarti mental atau karakter yang bisa merasakan "kenikmatan" yang tidak ternilai harganya saat melakukan penemuan yang tidak terduga-duga. Kenikmatan seperti ini hanya dirasakan oleh orang yang menjadikan hidupnya senantiasa penuh dengan aktifitas berpikir (reasoning) dan dzikir (learning). Srilangka yang berasal dari kata serendipitas dinamai demikian oleh orang Inggris juga berangkat dari jiwa keingintahuan yang besar yang melatari petualangan dunia abad pertengahan.

Orang yang mempunyai jiwa serendipitas adalah orang menjadikan laboratorium (lab) sebagai hidupnya dan hidupnya adalah lab. Lab adalah ajang berpikir dengan segala bentuk dan kondisi fisiknya, tidak terbatas pada lab dalam arti yang sebenarnya. Mental serendipitas digambarkan secara hidup dalam film A Beautiful Mind yang melukiskan kehidupan peraih Nobel John Nash. Pertanyaan "Bisakah orang Indonesia meraih nobel ?" akan kembali kepada pertanyaan yang diajukan oleh Mahbubani, "Bisakah Orang Indonesia Berpikir ?"Berpikir menyelesaikan soal ujian akan sangat berbeda dengan proses berpikir dalam arti sesungguhnya untuk menyelesaikan persoalan hidup. Mental seperti ini hanya akan tumbuh dari didikan alam untuk mandiri dalam menghadapi segala macam tantangan hidup sejak seseorang masih kecil.

Budaya berpikir ilmiah adalah budaya hidup mandiri. Orang yang tidak terbiasa mandiri akan cenderung menempuh jalan short cut. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa "disuapi" dengan layanan baik dari orang lain maupun dari alam di mana dia tinggal. Bagi kita yang terbiasa disuapi sambil bermain ddari sejak kecil, akankah mental mandiri dan ulet bisa tumbuh ? Dari sinilah kita harus melangkah the first step to Nobel prize (Warsito).

Tulisan ini dimuat di www.BeritaIptek.com tanggal 18 November 2005