Jumat, 02 November 2007

Mulai dari Banjir dan Macet

Kemarin sewaktu pulang dari kantor Menpora di Senayan untuk mengikuti rapat juri lomba inovasi iptek pemuda Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Olah Raga dan Pemuda saya disambut hujan angin setengah badai yang mengkaburkan pandangan dan membuat dahan-dahan pohon di jalanan sekeliling Istora Senayan banyak yang patah dan berjatuhan. Hujan yang hanya berlangsung kurang dari setengah jam itu cukup membuat genangan air setengah banjir di jalanan utama Jakarta di mana-mana. Tidaklah heran dengan Jakarta yang seperti itu. Baru seminggu awal hujan mulai sudah banyak wilayah Jakarta yang terendam banjir.

Dan setiap genangan air membuat lalu-lintas kendaraan macet yang sudah parah dengan pembangunan jalan busway baru. Ditambah dengan tingkah-laku para warganya yang saya tidak mengerti manner berkendara di jalanan publik apa yang mereka pakai.

Jakarta akhir-akhir ini sudah seperti "neraka" bagi pengendara mobil pribadi maupun umum. Sehari sebelumnya saya memerlukan waktu tiga jam penuh untuk menempuh jarak dari kampus UI Depok ke Glodok via tol JORR dan dalam kota, plus bayar total Rp. 13.000 untuk tol. Saya terpaksa harus batalkan mengambil barang di Glodok karena harus 'memacu' dalam kemacetan lagi untuk mengejar janji berikutnya di bilangan Tebet.

Selama mengendarai mobil dalam kemacetan dan banjir saya sempat berpikir, mungkin para pengelola negeri ini lupa bahwa Indonesia adalah negari yang banyak hujan. Atau kalau mereka tidak lupa itu, mungkin mereka lupa pelajaran sains Sekolah Dasar, bahwa air itu bersifat mengalir. Sehingga mereka lupa melakukan antisipasi yang diperlukan secara memadai.

Banjir, kemacetan dan hukum kontinuitas fluida

Lalu-lintas dan air adalah dua hal yang identik. Keduanya mempunyai ciri khas utama yang sama yaitu mengalir. Macet lalu-lintas terjadi karena kendaraan tidak bisa mengalir disebabkan adanya hambatan di jalan. Banjir juga dikarenakan adanya halangan pada aliran air. Keduanya sama-sama bukan 'benda' yang compressible sehingga bisa dipress atau dimampatkan volumenya. Setiap hambatan pada jalan atau aliran akan mengakibatkan pembludakan ke mana-mana. Kalau air sudah menjadinya meluap ke mana saja ke tempat yang lebih rendah yang bisa dialiri tak peduli tempat dan peruntukannya, maka sepertinya sudah menjadi karakter para pengendara mobil di Jakarta pula untuk mengisi sela-sela di sepanjang jalan maupun bukan jalan tak peduli siapa yang mempunyai hak jalan (way right) pada saat terjadi kemacetan. Kalau banjir tak peduli menggenangi rumah kumuh atau istana negara, maka pengendara mobil Jakarta tidak peduli akan menyerobot jalan Anda dari arah mana pun saja.

Air dan aliran lalu-lintas mempunyai sifat fluida (benda yang mengalir) dan berlaku hukum kontinuitas, yaitu volume per detik yang melewati sebuah penampang aliran adalah sama di setiap titik yang dilewati. Banjir atau macet merupakan ekses dari akumulasi massa fluida akibat jalan aliran yang mengalami diskontinuitas.

Titik-titik diskontinuitas bagi aliran air atau kendaraan di Jakarta banyak sekali. Untuk air bentuk-bentuk diskontinuitas bisa berupa sampah yang menyumbat jalan air, lumpur yang mengendap di dasar saluran atau rumah-rumah liar penduduk yang dibangun di daerah aliran sungai (DAS), atau bahkan saluran air yang putus di mana-mana atau memang dari awal sengaja tidak dibuat.

Sedangkan bagi kendaraan bermotor bentuk-bentuk diskontinuitas bisa berupa mobil yang diparkir sembarangan, mobil angkot yang berhenti seenaknya, belokan yang dibuat dengan lebar yang tidak memadai, atau jalan yang menyempit di sana-sini, atau jalan buntu di sana-sini karena pemasangan portal untuk menghalangi orang 'asing' lewat.

Berbicara masalah diskontinuitas aliran kendaraan lalu-lintas, saya merasakan kejengkelan yang luar biasa ketika menempuh jalan dari keluar tol Ancol ke Glodog dua hari yang lalu yang makan waktu lebih dari 1 jam akibat kemacetan yang luar biasa di bagian belokan sekitar Stasiun Kota. Entahlah apa yang dipikirkan oleh para pengelola Jakarta ini, untuk menempuh jarak yang tidak sampai 1 kilometer dari pintu tol hingga depan Glodog Plaza itu harus melewati saya hitung paling sedikit ada 13 belokan. Setiap belokan tentunya merupakan titik diskontinuitas karena mobil memerlukan jalan yang lebih lebar ketika belok. Dan sepertinya sudah menjadi karakter bangsa ini yang suka sekali membangun jalan apa saja yang berbelok-belok, berputar-putar dan berliku-liku. Sudah waktunya kita berpikir masalah efisiensi dalam segala hal.

Tangerang, 1 Nopember 2007